Postingan

Ureung Inong & Desain Tradisi (Sebuah Refleksi Hari Adat Sedunia

Sanusi M. Syarif Pemerhati Kehidupan Gampong Dulu, apabila ada anak gadis (aneuk dara) sedang duduk di panteu, maka anak laki-laki dewasa (yang bukan muhrim) tabu untuk duduk di panteu yang sama. POLEMIK tentang gender di website Aceh Institute mengalir dengan begitu pantas. Tulisan pembuka bertajuk ' Ada Apa dengan Gender ' telah menemukan momentumnya. Hal ini ditandai oleh munculnya beberapa artikel lain, sebagai tanggapan kritis untuk memperkaya perbincangan tentang gender. Pada kesempatan ini, saya mencoba menulis dari perspektif yang sedikit berbeda dengan penulis sebelumnya. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau kembali sebahagian isu ureung inong (perempuan) dalam masyarakat Aceh dengan bercermin ke akar tradisi Aceh masa lalu. Kemudian, membandingkannya dengan keadaan masa sekarang. Dalam hal ini, penulis menumpukan perhatian kepada tiga aspek utama, yaitu seting ruang tradisi, peunulang (penyerahan sebagian harta untuk anak perempuan setelah ia menikah) dan peurae (pem

Pilkada dan Pembangunan Aceh.

Oleh: Sanusi M. Syarif Mahasiswa Pusat Pengkajian Sosial Pembangunan dan Persekitaran- FSSK Universiti Kebangsaan Malaysia Email: sanusi_syarif@yahoo.com Ada tiga kesan yang dapat dilekatkan pada praktek pembangunan di Indonesia, yaitu kesan “sakral dan angker”, elitis, ekonomis dan bersifat etnis/golongan. Ketiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: “Pembangunan” pernah menjadi kata yang sangat sakral di Indonesia pada era Suharto. Saking sakralnya kata tersebut pada masa itu, orang sangat hati-hati agar tidak dicap sebagai orang yang “anti pembangunan”. Kata “pembangunan” telah menjadi sangat “angker” dan terkesan menakutkan. Indonesia juga pernah mempraktekkan pembangunan yang bersifat “elitis”. Pembangunan untuk orang kaya, kaum elit dan kalangan mayoritas. Pembangunan hanya sedikit untuk orang yang kurang beruntung atau golongan minoritas. Pembangunan di Indonesia juga menganut alasan-alasan ekonomis dan jumlah penerima manfaat. Apab

Hariya peukan Dari Perspektif Penguatan Ekonomi Kerakyatan[1]

Sanusi M. Syarif & A.Malik Musa [2] Adat meublang keu pangkai meugo Adat blo publo jeut bek na dakwa Pendahuluan Kejayaan peradaban Aceh pada masa dahulu telah memberikan sumbangan dan inspirasi penting kepada berbagai kerajaan Melayu lainnya di Nusantara. Salah satu diantaranya adalah dalam bidang penggunaan kitab-kitab yang ditulis ulama Aceh sebagai rujukan dan juga mengadopsi sebagian sistem kelembagaan yang ada di Kesultanan Aceh. Dalam perkembangannya kemudian, di Aceh justru terjadi kemunduran luar biasa dalam bidang kelembagaan, khususnya pada tingkat gampong dan mukim. Keadaan itu bukan hanya disebabkan oleh diberlakukannya UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, akan ada factor-faktor lain yang telah terjadi dalam masa sebelumnya. Sebagai contoh adalah perubahan sistem pemerintahan dan adanya kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan lembaga-lembaga adat di Aceh. Akibatnya berbagai lembaga adat pada tingkat mukim dan gam